Avatar

Senin, 26 April 2010

KONSEP DASAR PAJAK INTERNASIONAL

LATAR BELAKANG
Indonesia sebagai Negara berdaulat memiliki hak untuk membuat ketentuan tentang perpajakan. Fungsi dari pajak yang ditarik oleh pemerintah ini utamanya adalah untuk membiayai kegiatan pemerintahan dalam rangka menyediakan barang dan jasa publik yang diperlukan oleh seluruh rakyat Indonesia. Di samping itu, pajak juga berfungsi untuk mengatur perilaku warga Negara untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
Indonesia juga bagian dari dunia internasional yang sudah pasti dalam menjalankan roda pemerintahannya melakukan hubungan internasional. Hubungan internasional dapat berupa kerjasama di bidang keamanan pertahanan, kerjasama di bidang sosial, ekonomi, budaya dan lainnya, namun pembahasan ini terbatas pada kegiatan ekspor maupun impor (Transaksi Perdagangan Internasional) yang terkait dengan pajak internasional.
Setiap kerjasama yang dilakukan oleh setiap negara tentunya harus disepakati terlebih dahulu oleh para pihak guna mencapai komitmen bersama yang termuat dalam suatu perjanjian internasional, tidak terkecuali perjanjian dalam bidang perpajakan.
Transaksi perdagangan antara dua negara atau beberapa negara berpotensi menimbulkan aspek perpajakan, hal ini tentunya harus diatur oleh kedua negara atau dunia internasional secara umum guna meningkatkan perekonomian dan perdagangan negara-negara yang melakukan kerjasama tersebut. Ini menjadi penting agar tidak menghambat aliran dana investasi akibat pengenaan pajak yang memberatkan Wajib Pajak yang bekedudukan di kedua negara yang melakukan transaksi tersebut.
Untuk itu perlu adanya kebijakan perpajakan internasional dalam hal mengatur hak pengenaan pajak yang berlaku disuatu negara, dengan asumsi bahwa disetiap negara dapat dipastikan sudah mengatur ketentuan pajak dalam wilayah yang menjadi kedaulatannya. Namun setiap negara tidak bebas mengatur pengenaan pajak terhadap badan atau warga negara asing, pajak internasional merupakan salah satu bentuk hukum internasional, dimana setiap negara harus tunduk pada kesepakatan dunia internasional yang dikenal dengan istilah Konvensi Wina.
Tujuan Kebijakan Perpajakan Internasional
Setiap kebijakan tentu mempunyai tujuan khusus yang ingin dicapai, begitu juga dengan kebijakan perpajakan internasional juga mempunyai tujuan yang ingin dicapai yaitu memajukan perdagangan antar negara, mendorong laju investasi di masing-masing negara, pemerintah berusaha untuk meminimalkan pajak yang menghambat perdagangan dan investasi tersebut. Salah upaya untuk meminimalkan beban tersebut adalah dengan melakukan penghindaraan pajak berganda internasional.
Prinsip-prinsip yang harus dipahami dalam pemajakan internasional
Doernberg (1989) menyebut 3 unsur netraliats yang harus dipenuhi dalam kebijakan pemajakan internasional:
1. Capital Export Neutrality (Netralitas Pasar Domestik): Kemanapun kita berinvestasi, beban pajak yang dibayar haruslah sama. Sehingga tidak ada bedanya bila kita berinvestasi di dalam atau luar negeri. Maka jangan sampai bila berinvestasi di luar negeri, beban pajaknya lebih besar karena menanggung pajak dari dua negara. Hal ini akan melandasi UU PPh Psl 24 yang mengatur kredit pajak luar negeri.
2. Capital Import Neutrality (Netralitas Pasar Internasional): Darimanapun investasi berasal, dikenakan pajak yang sama. Sehingga baik investor dari dalam negeri atau luar negeri akan dikenakan tarif pajak yang sama bila berinvestasi di suatu negara. Hal ini melandasi hak pemajakan yang sama denagn Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN) terhadap permanent establishment (PE) atau Badan Uasah Tetap (BUT) yang dapat berupa cabang perusahaan ataupun kegiatan jasa yang melewati time-test dari peraturan yang berlaku.
3. National Neutrality: Setiap negara, mempunyai bagian pajak atas penghasilan yang sama. Sehingga bila ada pajak luar negeri yang tidak bisa dikreditkan boleh dikurangkan sebagai biaya pengurang laba.

Pemajakan transaksi lintas negara
Pemajakan berganda terjadi karena benturan antar klaim pemajakan. Hal ini karena adanya prinsip pemajakan global untuk wajib pajak dalam negeri (global principle) dimana penghasilan dari dalam luar negeri dan dalam negeri dikenakan pajak oleh negara residen (negara domisili wajib pajak). Selain itu, terdapat pemajakan teritorial (source principle) bagi wajib pajak luar negeri (WPLN) oleh negara sumber penghasilan dimana penghasilan yang bersumber dari negara tersebut dikenakan pajak oleh negara sumber. Hal ini membuat suatu penghasilan dikenakan pajak dua kali, pertama oleh negara residen lalu oleh negara sumber Misalnya: PT A punya cabang di Jepang. Penghasilan cabang di jepang dikenakan pajak oleh fiskus Jepang. Lalu di Indonesia penghasilan itu digabung dengan penghasilan dalam negeri lalu dikalikan tarif pajak UU domestik Indonesia.
Bentokran klaim lebih diperparah bila terjadi dual residen, dimana terdapat dua negara sama-sama mengklaim seorang subjek pajak sebagi wajib pajak dalam negerinya yang menyebabkan ia terkena pemajakan global dua kali. Misalnya: Mr. A bekerja di Indonesia lebih dari 183 hari namun setiap sabtu dan minggu ia pulang ke rumahnya di Singapura. Mr. A dianggap WPDN oleh Indonesia dan juga Singapura sehingga untuk wajib melapor dan membayar pajak untuk penghasilan globalnya pada Indonesia maupun Singapura.
Dalam kaitan pembagian hak pemajakan ini, negara-negara yang melakukan perjanjian perpajakan dibagi menjadi dua jenis. Pertama adalah negara sumber (source country) yang merupakan negara di mana penghasilan yang merupakan objek pajak timbul. Kedua adalah negara domisili (resident country) yaitu negara tempat subjek pajak bertempat tinggal, berkedudukan atau berdomisili berdasarkan ketentuan perpajakan.
Baik negara sumber maupun negara domisili biasanya berhak untuk mengenakan pajak berdasarkan undang-undang domestiknya. Pengenaan pajak oleh dua yurisdiksi perpajakan terhadap satu jenis penghasilan inilah yang biasanya menimbulkan pengenaan pajak berganda sehingga perlu diatur dalam suatu persetujuan antara negara sumber dan negara domisili.
Konsep juridical double taxation dan economic double taxation
Dalam arti sempit, pajak berganda dianggap terjadi pada semua kasus pemajakan beberapa kali terhadap suatu subjek dan/atau objek pajak dalam satu administrasi pajak yang sama. Pajak berganda tersebut dapat disebabkan oleh pemajakan oleh penguasa tunggal (singular power) atau oleh berbagai (lapisan) tunggal, misalnya dapat terjadi pada pemajakan terhadap bangunan atas nilai jualnya (Pajak Bumi dan Bangunan) dan penghasilannya (Pajak Penghasilan atas sewa atau keuntungan transfernya). Pajak berganda tersebut sering disebut pajak berganda ekonomis (economic double taxation). Pajak berganda dalam arti luas, sesuai dengan Negara (yurisdiksi) pemungut pajaknya, dapat dikelompokkan menjadi pajak berganda (1) internal (domestic) dan (2) internasional.
Knechtle, dalam buku “Basic Problems in International Fiscal Law”, menyebut beberapa tipe PBI (1) faktual dan potensial, (2) yuridis dan ekonomis, dan (3) langsung dan tidak langsung. Apabila klaim pemajakan tersebut benar-benar dilaksanakan oleh beberapa Negara pemegang yurisdiksi maka akan terjadi PBI faktual. Apabila dari kedua (atau lebih) Negara pemegang klaim pajak, hanya satu Negara saja yang melaksanakan klaim pemajakan tersebut maka akan terjadi PBI Potensial.
Sementara PBI yuridis terjadi apabila suatu penghasilan (atau modal) yang sama dikenakan pajak di tangan orang (subjek) yang sama oleh lebih dari satu Negara, PBI Ekonomis, timbul apabila dua orang yang (secara yuridis) berbeda dikenakan pajak atas suatu penghasilan (atau modal; objek) yang sama (oleh lebih dari satu Negara). PBI Yuridis, pemajakan oleh lebih dari satu Negara dan satu subjek legal yang sama. PBI tak langsung terjadi dari pemajakan atas satu hal yang sama (setara dengan PBI Ekonomis).
Sumber hukum perpajakan internasional
Perjanjian perpajakan internasional pertama sekali dicetuskan oleh Liga Bangsa-Bangsa pada tahun 1921, model inilah yang menjadi dasar yang dikembangkan pada tahun 1928 yang kemudian dipakai oleh negara-negara yang tergabung dalam Organization for economic cooperation and Development (OECD) yang semula merupakan konvensi bilateral yang tergabung dalam The Council of Organization For European Economic cooperation (OEEC) dengan 70 anggota negara.
Model ini kemudia disempurnakan dalam model mexico tahun 1943 dan Model London tahun 1946, komite fiskal dalam OECD kemudian membuat draft konvensi guna memecahkan permasalahan pajak ganda agar dapat diterima oleh semua anggota OECD, kemudia pada tahun 1963 dibuatlah laporan final dengan judul draft double taxation convention on income and capital yang kemudian diubah beberapa kali.
Kemudian untuk perjanjian Tax Treaty untuk negara berkembang, dibuat oleh The Economic dan Social Council Of The United Nation pada tahun 1967. Kemudian pada tahun 1980 dirubah lagi dengan nama The Group Of Experts yang anggotanya terdiri dari 25 negara, yang terdiri dari 10 negara maju dan 15 negara berkembang. Kemudian pada tahun 1974 dan 1979. Pada tahun 1979 the group of experts mereview lagi draft United Nation Model Convention dan diubah beberapa kali pada tahun 1995,1997,1998,1999, 2000 dan terakhir 2005. Konvensi-konvensi inilah yang kemudian menjadi sumber hukum perpajakan internasional. Di dunia ini, ada dua model treaty yang sering dijadikan acuan dalam menyusun suatu treaty yaitu model OECD dan model PBB.
Prinsip Non Deskriminasi
Prinsip ini mengatur tentang persamaan perlakuan perpajakan yang diberikan oeh suatu negara kepada warga negara dan kepada bukan warga negara. Suatu negara yang terikat tax treaty memiliki kewajiban untuk memberikan perlakuan perpajakan yang sama untuk warga negaranya dan untuk mereka yang bukan warga negaranya. Perlakuan perpajakan yang sama ini mengandung arti bahwa dalam suatu kondisi yang sama, pihak yang bukan warga negara dari suatu negara tidak boleh menanggung kewajiban pajak yang lebih berat daripada yang ditanggung oleh warga negara dari negara tersebut. Perlakuan yang sama juga harus diberikan kepada mereka yang bukan merupakan warga negara dari kedua negara yang terikat perjanjian.
Konsep Penghindaran Pajak Berganda
Pemajakan atas suatu penghasilan secara bersamaan oleh negara yang menerapkan domisili dan negara yang menerapkan azas sumber menimbulkan pajak ganda internasional (international double taxation). Oleh para investor dan pengusaha, pajak ganda tersebut dianggap kurang memperlancar mobilitas arus investasi, bisnis, dan perdagangan internasional. oleh karena itu, perlu dihilangkan atau diberikan keringanan. Selain diatur dalam ketentuan pajak domestik, keringanan pajak ganda dimaksud pada umumnya juga diatur dalam P3B. Pajak Berganda Internasional (selanjutnya dalam modul ini disebut PBI) muncul apabila terdapat benturan yurisdiksi pemajakan, baik yang melekat pada pemerintah pusat (negara) maupun pemerintah daerah (provinsi, kota, dan kabupaten), dan yang melekat pada masing-masing negara (overlapping of tax jurisdiction in the international sphere). Sementara orang akan mempertanyakan kenapa benturan tersebut sampai terjadi? Dalam hak pemajakan, kita menyadari bahwa setiap negara berdaulat akan melaksanakan pemajakan terhadap subjek dan/atau objek yang mempunyai pertalian fiskal (fiscal allegiance) dengan negara pemungut pajak dan berada dalam wilayah kedaulatannya berdasarkan ketentuan domestik. Seandainya dalam ketentuan domestik dari negara-negara pemungut pajak tersebut terdapat pengecualian atau pembebasan dari pajak terhadap subjek atau objek yang bertempat kedudukan atau berada di luar wilayah kedaulatannya maka tidak akan terjadi PBI karena mungkin tidak terjadi benturan hak pemajakan dengan negara lain. atau apabila tarif pajak di negara tempat sumber penghasilan dikenakan pajak dan domisili cukup rendah, beban pajak berganda yang dikenakan di negara sumber sebagai pemegang hak pemajakan utama (primary taxing rights) dan yang dikenakan di negara domisili sebagai pemegang hak pemajakan skunder (secondary taxing rights) secara wajar masih dalam jumlah yang terjangkau oleh pembayar pajak.
Dalam Pajak Penjualan, misalnya, PBI dapat terjadi apabila negara pengekspor menganut prinsip negara asal (origin principle; pemajakan oleh negara asal barang dan jasa), dipihak lain, negara pengimpor menganut prinsip negara tujuan (destination principle; Pemajakan oleh negara tujuan atau negara konsumen). PBI berkenaan dengan Pajak Penghasilan, sebagaimana telah dikemukakan di awal bagian ini, apabila terjadi benturan hak pemajakan antara negara-negara mempunyai pertalian ekonomis, menerapkan azas pembagian hak pemajakan secara tidak bersamaan.
Pengertian dan tujuan penghindaran pajak berganda (P3B)
Sehubungan dengan pengertian pajak berganda (double taxation), Knechtle dalam bukunya yang berjudul ”Basic Problems in Internasional Fiscal Law” (1979) memberikan pembahasan secara rinci. . Knechtle membedakan pengertian pajak berganda, yaitu :
a. Secara Luas, Pajak berganda adalah bentuk pembebanan pajak dan pungutan lainnya lebih dari satu kali, yang dapat berganda atau lebih atas suatu fakta fiskal.
b. Secara Sempit, Pajak berganda dianggap terjadi pada semua kasus pemajakan beberapa kali terhadap suatu subjek dan/atau objek pajak dalam satu administrasi pajak yang sama, yang mengesampingkan pembebanan pajak oleh pemerintah daerah.
Selanjutnya, pajak berganda sesuai dengan Negara ( yurisdiksi ) pemungut pajaknya, dapat dikelompokkan menjadi pajak berganda :
1. Internal ( domestic )
2. Internasional
Dalam kedua kelompok tersebut terdapat pajak berganda vertical, horizontal dan diagonal (terutama dalam Negara yang berbentuk federal).
Definisi lain Perjanjian penghindaran pajak berganda adalah perjanjian antara dua negara bilateral yang mengatur pembagian hak pemajakan atas penghasilan yang diperoleh atau diterima oleh penduduk oleh salah satu atau kedua negara pihak pada persetujuan (Both Constacting State). Atau perjanjian perpajakan antara dua negara yang dibuat dalam rangka meminimalisir pemajakan berganda dan berbagai usaha penghindaran pajak. Perjanjian ini digunakan oleh penduduk dua negara untuk menentukan aspek perpajakan yang timbul dari suatu transaksi di antara mereka. Penentuan aspek perpajakan tersebut dilakukan berdasarkan klausul-klausul yang terdapat dalam tax treaty yang bersangkutan sesuai jenis transaksi yang sedang dihadapi.
Setiap tax treaty mempunyai prinsip-prinsip dasar yang kurang lebih sama, sebagai bagian dari konvensi internasional di mana setiap negara yang terlibat dalam suatu tax treaty menyusun treaty-nya masing-masing berdasarkan model-model perjanjian yang diakui secara internasional. Di dunia ini, ada dua model treaty yang sering dijadikan acuan dalam menyusun suatu treaty yaitu model OECD dan model PBB.
Memahami treaty yang berlaku antara suatu negara dengan negara lainnya, bisa dimulai dengan memahami prinsip-prinsip dasar tersebut. Dalam kenyataannya, memahami suatu tax treaty tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Bahasa yang digunakan, jumlah klausul yang cukup banyak, pemahaman seseorang tentang dasar-dasar perpajakan dan berbagai sebab lainnya merupakan hal yang dapat mempengaruhi kesulitan tersebut. Dengan memahami prinsip-prinsip dasar dan prinsip umum yang berlaku dalam suatu treaty, seseorang akan menjadi lebih mudah memahami suatu treaty yang secara spesifik berlaku untuk negara tertentu.
Sebagai suatu perjanjian, sebuah treaty adalah kontrak yang mengikat suatu negara dengan negara lain dalam hal perlakuan perpajakan. Oleh sebab itu, di dalamnya selalu berisi klausul-klausul, pasal-pasal dan ayat-ayat yang berkaitan dengan suatu aspek transaksi dan pihak tertentu tertentu. Pasal-pasal atau ayat-ayat (article atau artikel) yang terdapat dalam sebuah tax treaty pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi empat bagian besar yaitu bagian yang mengungkapkan cakupan tax treaty, bagian yang mengatur minimalisasi pengenaan pajak berganda, bagian tentang pencegahan penghindaran pajak dan bagian yang mencakup hal-hal lainnya.
Semua bagian itu cenderung lebih mudah dipahami dari pada berbagai definisi, istilah dan pengertian yang sering disebutkan dalam suatu tax treaty. Berbagai definisi, istilah dan pengertian inilah yang menjadi lebih penting untuk dipahami setiap pihak khususnya berkaitan dengan kepentingan dalam praktek bisnis sehari-hari.
Disamaping tujuan utama seperti disebutkan diatas P3B juga mempunyai tujuan khusus lainnya yaitu :
a. Menghindari pemajakan ganda yang memberatkan iklim dunia usaha;
Dengan P3B maka penganaan pajak atas laba usaha tidak dapat dikenakan di kedua tempat (negara sumber dan negara domisili). Laba usaha dikenakan pajak di tempat di mana mereka berkedudukan. Dengan adanya ketentuan ini diharapkan dunia usaha mendapatkan kepastian hukum, karena membayar pajak hanya dikenakan satu kali yaitu di negara domisili.
b. Meningkatkan investasi modal dari luar negeri;
Pemajakan atas investasi berupa bunga dari pinjaman, dividen dari penanaman saham, royalti dari pemilik hak cipta, jika dikenakan pemajakan yang tinggi, maka dapat dipastikan pendudukan atau warga negara asing akan mempertimbangkan untuk menanamkan modalnya, karena hasil dari investasinya tidak sesuai dengan yang diharapkan.
c. Peningkatan sumber daya manusia;
Dengan adanya pembebasan pajak atas mahasiswa dan pelatihan karyawan di negara di mana mereka menempuh pendidikan dan pelatihan, maka dapat meningkatkan jumlah peserta pendidikan dan pelatihan ke luar negeri, dampaknya akan meningkatkan kemampuan SDM negara pengirim peserta pelatihan dan pendidikan. Sebaliknya jika penghasilan mahasiswa dan karyawan yang mengikuti pelatihan dikenakan pajak maka akan membebani mereka sehingga mereka tidak berangkat keluar negeri ini akan berdampak kurang baik terhadap pengembangan SDM.
d. Pertukaran informasi guna mencegah pengelakan pajak;
Dengan membangun jaringan komunikasi yang baik diantara kedua negara, maka informasi tentang penduduk yang tidak memenuhi kewajiban perpajakannya di kedua negara tersebut akan dapat terdeteksi (untuk mengintensifkan penerimaan pajak). Negara yang terkait dengan Tax Treaty dapat melaporkan penghasilan penduduk asing di negara sumber, misalnya saja dengan mengirimkan bukti penerimaan penghasilan dari negara sumber, informasi penghasilan tersebut seharusnya dilaporkan oleh penerima penghasilan di negara domisili, dan diperhitungkan kembali pada akhir tahun pajak.
e. Keadilan dalam hal pemajakan penduduk antar kedua negara.
P3B juga mengaatur adanya pemajakan yang sama dan setara antara kedua negara, dengan prinsip saling menguntungkan dan tidak memberatkan penduduk asing antar kedua negara dalam menjalankan usaha. Negara yang mengadaka tax treaty terikat dengan ketentuan dalam perjanjiannya sehingga tidak boleh sewenang-wenang dalam hal pemajakannya.

Jumat, 19 Februari 2010

PARADIGMA BARU SISTEM PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

Beberapa hal yang melatarbelakangi perubahan sistem pengelolaan keuangan Negara antara lain : (1) Amandemen keempat UUD NKRI 1945 (2) UU 23/2003 tentang Pemilihan Presiden (3) UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (4) Reformasi pengelolaan Keuangan Negara : UU 17/2003 tentang Keuangan Negara, UU 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, UU 15/2004 tentang Pemeriksaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara, (5) UU 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, (6) UU 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, (7) PP 24/2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP).
Perubahan yang cukup revolusionir bagi pemerintah daerah terdapat pada pasal 6 ayat (1) Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan ayat (2) kekuasaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1): huruf c. diserahkan kepada Gubernur/Bupati/Walikota selaku kepala pemerintahan daerah untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan;. Dengan demikian Kepala Daerah mempunyai otoritas penuh terhadap APBD dalam hal menyusun dan merencanakan, membahas, menetapkan, melaksanakan serta mempertanggungjawabkan.

Tujuan dan desain utama pengelolaan keuangan daerah : Mempertajam esensi sistem penyelenggaraan pemerintahan Daerah dalam konteks pengelolaan keuangan daerah, Memperjelas distribusi kewenangan (distribution of authority) dan memperjelas derajat pertanggungjawaban (clarity of responsibility) pada level penyelenggaraan pemerintahan Daerah di bidang pengelolaan keuangan daerah.
Spirit Utama Penyempurnaan : Peningkatan akuntabilitas dan transparansi pengelolaan keuangan daerah, Memperjelas distribution of authority dan level of responsibility antar tingkat pemerintahan dalam melakukan pembinaan dan pengawasan keuangan daerah, Adanya pergeseran dari sentralistik ke desentralistik dalam pengelolaan keuda (adanya pelimpahan kekuasaan sebagian atau seluruhnya dari pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah kepada pejabat pengelola keuangan daerah dan pengguna anggaran), Mempertimbangkan kapasitas SDM, infrastruktur, dan pengembangan teknologi.

APA SAJA YANG DISEMPURNAKAN?

Tatacara Penyusunan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah, disesuaikan dengan UU 17/2003, UU 25/2004, UU 32/2004, dan UU 33/2004, Penatausahaan dan Perbendaharaan disesuaikan dengan UU 1/2004, Pengawasan Keuangan Daerah disesuaikan dengan UU 15/2004, Laporan Keuangan disusun dan disajikan sesuai dengan PP 24/2005 ttg SAP
Salah satu pokok penyempurnaan yang menarik adalah aspek peertanggungjawaban pelaksanaan APBD dimana : Kepala SKPD menyelenggarakan akuntansi atas transaksi keuangan, aset, utang dan ekuitas dana serta menyiapkan laporan pelaksanaan anggaran dan barang yang dikelolanya, Pejabat pengelola Keuda menyelenggarakan akuntansi atas transaksi keuangan, aset, utang dan ekuitas dana, pembiayaan dan perhitungannya serta menyusun laporan keuangan Pemda. Laporan keuangan terdiri dari laporan realisasi APBD, neraca, laporan arus kas, dan catatan atas laporan keuangan yang dilampiri laporan ikhtisar realisasi kinerja dan laporan keuangan BUMD, Seluruh laporan keuangan disiapkan dalam rancangan peraturan daerah tentang laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD yang disusun dan disajikan sesuai dengan standar akuntansi pemerintahan. Bahwa pemerintah daerah sampai pada level Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) wajib menyelenggarakan akuntansi dan menyusun laporan keuangan sudah sejalan dengan konsep good governance yaitu suatu konsepsi tentang penyelenggaraan pemerintahan yang bersih, demokratis, dan efektif.

Akankan perubahan ini membawa Negara ini menuju kemakmuran dengan kendaraan “Good Governance” ?

Rabu, 10 Februari 2010

OBLIGASI DAERAH (MUNICIPAL BOND)


PENDAHULUAN
            Pada prinsipnya pengelolaan keuangan daerah dalam hal pengalokasian belanja modal sangat berkaitan dengan perencanaan keuangan jangka panjang, terutama pembiayaan untuk pemeliharaan aset tetap yang dihasilkan dari belanja modal tersebut. Menurut konsep multi-term expenditure framework (MTEF), bahwa kebijakan belanja modal harus memperhatikan kemanfaatan (usefulness) dan kemampuan keuangan pemerintah daerah (budget capability) dalam pengelolaan aset tersebut dalam jangka panjang. Belanja modal dimaksudkan untuk mendapatakan aset tetap pemerintah daerah, seperti peralatan, bangunan, infrastruktur, dan harta tetap lainnya. Secara teoretis ada tiga cara untuk memperoleh aset tetap tersebut, yaitu: (1) membangun sendiri; (2) menukarkan dengan aset tetap lain, dan (3) membeli. Kebanyakan dalam kasus di pemerintahan, biasanya cara yang dilakukan adalah membangun sendiri atau membeli.
            Menjadi persoalan saat ini adalah terbatasnya sumber pembiayaan bagi pemerintah daerah yang hanya mengandalkan PAD dan Trasnfer dari Pemerintah Pusat (DAU, DAK dan DBH). Dapat dipastikan Pemerintah daerah akan mencari berbagai alternatif pembiayaan guna mendanai pembangunan yang di wujudkan dalam belanja modalnya.
            Secara umum ada 3 (tiga) jenis pinjaman daerah, yaitu pinjaman jangka pendek, pinjaman jangka menengah, dan pinjaman jangka panjang. Khusus untuk jenis pinjaman jangka panjang, Pemerintah Daerah dapat melakukan pinjaman kepada masyarakat dengan cara menerbitkan Obligasi Daerah (Municipal Bond) melalui penawaran umum kepada masyarakat di pasar modal dalam negeri. Melalui Obligasi Daerah, Pemerintah Daerah juga dimungkinkan untuk mendapatkan pinjaman dari investor asing, mengingat pinjaman langsung dari luar negeri yang bukan melalui Obligasi Daerah tidak diperkenankan bagi Pemerintah Daerah.



OBLIGASI DAERAH
Obligasi daerah adalah surat utang yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah untuk mendapatkan dana guna membiayai pembangunan di daerah yang bersangkutan. Menurut PP No 54 Tahun 2005 tentang pinjaman daerah menyatakan bahwa obligasi adalah efek yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah yang ditawarkan kepada publik melalui penawaran umum di pasar modal domestic dan digunakan untuk membiayai investasi sektor publik yang menghasilkan penerimaan dan memberikan manfaat kepada masyarakat. Obligasi daerah atau municipal bond sudah sejak lama di kenal di Amerika Serikat banya para investor di sana yang melakukan investasi pada obligasi ini. Obligasi daerah mempunyai umur yang bervariasi tergantung dari perencanaan keuangan daerah tersebut. Masalah yang muncul adalah bahwa masa jabatan Kepala Daerah mungkin saja telah berakhir namun obligasi yang diterbitkan belum jatuh tempo, maka perlu diatur kembali dalam suatu perda bahwa Kepala Daerah yang dalam masa jabatannya menerbitkan obligasi daerah harus turut bertanggungjawab sampai obligasi tersebut jatuh tempo. Altenatif lain adalah dengan membuat periodesasi obligasi daerah tidak melebihi 4 tahun atau kurang dari masa jabatan Kepala Daerah, akan tetapi dalam kasus ini perencanaan keuangan daerah harus jelas dan teliti dengan meningkatkan kederdayaan unit perencanaan pembangunan (Bappeda) dan unit kerja lainnya. SKPD pengelola obligasi daerah harus mempunyai kualifikasi yang memadai dengan menugaskan pegawai yang menangani obligasi daerah untuk mengikuti pelatihan dan sertifikasi secara berkala.

DASAR HUKUM
*       UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal;
*       UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara;
*       UU No 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara;
*       UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah;
*       PP No. 54 Tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah;
*       PP No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah;
*       PMK. No. 45/PMK.02/2006 tentang Pedoman Pelaksanaan dan Mekanisme Pemantauan Defisit APBD dan Pinjaman Daeah;
*       PMK Nomor 147/PMK.07/2006 tentang Tatacara Penerbitan, Pertanggungjawaban, Dan Publikasi Informasi Obligasi Daerah;
*       Paket Peraturan Ketua Bapepam-LK terkait dengan Penawaran Umum Obligasi Daerah. ( KEP-63/BL/2007, KEP-64/BL/2007, KEP-65/BL/2007, KEP-66/BL/2007, KEP-67/BL/2007 dan KEP-68/BL/2007).
PRINSIP UMUM
*       Penerbitan Obligasi Daerah hanya dapat dilakukan di pasar modal domestik dan dalam mata uang Rupiah;
*       Obligasi Daerah merupakan efek yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah dan tidak dijamin oleh Pemerintah;
*       Pemerintah Daerah dapat menerbitkan Obligasi Daerah hanya untuk membiayai kegiatan investasi sektor publik yang menghasilkan penerimaan dan memberikan manfaat bagi masyarakat yang menjadi urusan Pemerintah Daerah. Dengan ketentuan tersebut, maka Obligasi Daerah yang diterbitkan Pemerintah Daerah hanya jenis Obligasi Pendapatan (Revenue Bond);
*       Nilai Obligasi Daerah pada saat jatuh tempo sama dengan nilai Obligasi Daerah pada saat diterbitkan. Dengan ketentuan ini maka Pemerintah Daerah dilarang menerbitkan Obligasi Daerah dengan jenis index bond yaitu Obligasi Daerah yang nilai jatuh temponya dinilai dengan index tertentu dari nilai nominal.
PROSEDUR PENERBITAN
*       Perencanaan penerbitan Obligasi Daerah oleh Pemda;
*       Pengajuan usulan rencana penerbitan Obligasi Daerah dari Pemda kepada Menteri Keuangan c.q. Dirjen Perimbangan Keuangan;
*       Penilaian dan persetujuan oleh Menteri Keuangan c.q. Dirjen Perimbangan Keuangan;
*       Pengajuan penyataan pendaftaran penawaran umum Obligasi Daerah oleh Pemda kepada Bapepam-LK;
*       Penerbitan Obligasi Daerah di pasar modal domestik.
PERENCANAAN OBLIGASI DAERAH OLEH PEMERINTAH DAERAH
*       Kepala Daerah melalui Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang ditunjuk melakukan persiapan penerbitan Obligasi Daerah yang sekurang-kurangya meliputi hal-hal sebagai berikut :
*       menentukan kegiatan;
*       membuat kerangka acuan kegiatan;
*       menyiapkan studi kelayakan yang dibuat oleh pihak yang independen dan kompeten;
*       memantau batas kumulatif pinjaman serta posisi kumulatif pinjaman daerahnya;
*       membuat proyeksi keuangan dan perhitungan kemampuan pembayaran kembali Obligasi Daerah;
*       mengajukan permohonan persetujuan prinsip kepada DPRD;
*       Persetujuan prinsip DPRD meliputi:
*       Nilai bersih maksimal Obligasi Daerah;
*       Jumlah dan nilai nominal Obligasi yang akan diterbitkan;
*       Penggunaan dana; dan
*       Pembayaran pokok, kupon dan biaya lainnya yang timbul sebagai akibat penerbitan obligasi.
 PERSYARATAN PENERBITAN OBLIGASI DAERAH
*       Nilai Obligasi Daerah pada saat jatuh tempo sama dengan nilai nominal Obligasi Daerah pada saat diterbitkan;
*       Penerbitan Obligasi Daerah wajib memenuhi ketentuan dalam Pasal 54 dan Pasal 55 UU Nomor 33 Tahun 2004 mengenai persyaratan pinjaman serta mengikuti peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal;
*       Setiap Obligasi Daerah sekurang-kurangnya mencantumkan:
*       Nilai nominal;
*       Tanggal jatuh tempo;
*       Tanggal pembayaran bunga;
*       Tingkat bunga (kupon);
*       Frekuensi pembayaran bunga;
*       Cara perhitungan pembayaran bunga;
*       Ketentuan tentang hak untuk membeli kembali Obligasi Daerah sebelum jatuh tempo;
*       Ketentuan tentang pengalihan kepemilikan;
*       Penerbitan Obligasi daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah;
*       Persetujuan diberikan atas nilai bersih maksimal Obligasi daerah yang akan diterbitkan pada saat penetapan APBD.
MEKANISME PENGAJUAN USULAN
*       Kepala Daerah menyampaikan usulan penerbitan Obligasi Daerah kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan dengan dilengkapi dokumen sbb:
*       Studi kelayakan kegiatan;
*       Kerangka acuan kegiatan;
*       Perda APBD tahun yang bersangkutan dan Perda Perhitungan APBD 3 (tiga) tahun terakhir;
*       Perhitungan DSCR; dan
*       Surat persetujuan prinsip DPRD;
*       Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan melakukan penilaian administrasi tersebut di atas, dan melakukan penilaian keuangan meliputi:
*       kemampuan keuangan Pemerintah Daerah
*       jumlah kumulatif Pinjaman Pemerintah Daerah; dan
*       jumlah defisit APBD;
*       Penilaian keuangan atas rencana penerbitan Obligasi Daerah dilakukan selambat-lambatnya dalam waktu 20 (dua puluh) hari kerja setelah dokumen rencana penerbitan Obligasi Daerah dinyatakan lengkap;
*       Berdasarkan hasil penilaian tersebut, Menteri Keuangan memberikan persetujuan/penolakan atas rencana penerbitan Obligasi Daerah dengan memperhatikan pertimbangan dari Menteri Dalam Negeri;
*       Berdasarkan persetujuan Menteri Keuangan, Kepala Daerah menyampaikan pernyataan pendaftaran penawaran umum kepada Bapepam-LK.
PENGELOLAAN OBLIGASI DAERAH
*       Pengelolaan Obligasi Daerah diselenggarakan oleh Kepala Daerah;
*       Pengelolaan Obligasi Daerah sekurang-kurangnya meliputi:
*       Penetapan strategi dan kebijakan pengelolaan Obligasi Daerah termasuk kebijakan pengendalian risiko;
*       Perencanaan dan penetapan struktur portofolio pinjaman daerah;
*       Penerbitan Obligasi daerah;
*       Penjualan Obligasi Daerah melalui lelang;
*       Pembelian kembali Obligasi Daerah sebelum jatuh tempo;
*       Pelunasan pada saat jatuh tempo; dan
*       Pertanggungjawaban.
PENATAUSAHAAN & PENGGUNAAN DANA OBLIGASI DAERAH
*       Dana hasil penjualan Obligasi Daerah ditempatkan pada rekening tersendiri yang ditatausahakan oleh Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (PPKD);
*       Dana hasil penjualan Obligasi Daerah hanya dapat digunakan untuk membiayai kegiatan yang telah direncanakan yang merupakan kegiatan investasi sektor publik yang menghasilkan penerimaan dan memberikan manfaat bagi masyarakat;
*       Penerimaan dari investasi sektor publik diprioritaskan untuk membayar pokok, bunga, dan denda Obligasi Daerah.
PEMBAYARAN KEMBALI OBLIGASI DAERAH
*       Pemerintah daerah wajib membayar bunga dan pokok setiap Obligasi Daerah pada saat jatuh tempo;
*       Dana untuk membayar bunga dan pokok disediakan dalam APBD setiap tahun sampai dengan berakhirnya kewajiban tersebut;
*       Dalam hal pembayaran bunga dimaksud melebihi perkiraan dana, Kepala Daerah melakukan pembayaran dan menyampaikan realisasi pembayaran tersebut kepada DPRD dalam pembahasan Perubahan APBD.
PERTANGGUNGJAWABAN
Dua hal yang perlu dipertanggungjawabkan oleh Pemerintah Daerah berkaitan dengan penerbitan Obligasi Daerah, yaitu:
*       Pertanggungjawaban atas pengelolaan Obligasi Daerah;
*       Pertanggungjawaban dana hasil penerbitan Obligasi Daerah.
PUBLIKASI INFORMASI
Kepala Daerah wajib mempublikasikan secara berkala mengenai data Obligasi Daerah dan/atau informasi lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal.
PELAPORAN, PEMANTAUAN DAN EVALUASI
Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk wajib menyampaikan laporan penerbitan, penggunaan dana dan pembayaran kupon dan/atau pokok Obligasi Daerah setiap 3 (tiga) bulan kepada Menteri Keuangan. Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan melakukan pemantauan dan evaluasi atas:
*       Penerbitan Obligasi Daerah;
*       Penggunaan dana Obligasi Daerah;
*       Kinerja pelaksanaan kegiatan; dan
*       Realisasi pembayaran kupon dan/atau Pokok Obligasi Daerah.
Hasil pemantauan dan evaluasi tersebut dilaporkan oleh Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan kepada Menteri Keuangan dan dapat merekomendasikan kepada Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan untuk menghentikan penerbitan Obligasi Daerah.
SANKSI
Dalam hal Pemerintah Daerah tidak menyampaikan laporan penerbitan, penggunaan dana dan pembayaran Kupon dan/atau Pokok Obligasi Daerah, Menteri Keuangan dapat menunda penyaluran dana perimbangan.