FENOMENA FLAYPAPER EFFECT
I.
PENDAHULUAN
Kebijakan
Pemerintah Indonesia tentang Otonomi Daerah, yang mulai dilaksanakan secara
efektif tanggal 1 Januari 2001, merupakan kebijakan yang dipandang sangat
demokratis dan memenuhi aspek desentralisasi pemerintah yang sesungguhnya.
Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat
setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah membuka peluang yang luas bagi daerah
untuk mengembangkan dan membangun daerahnya sesuai dengan kebutuhan dan
prioritasnya masing-masing. Dengan berlakunya
kedua undang-undang tersebut di atas
membawa konsekuensi bagi daerah dalam bentuk pertanggungjawaban atas
pengalokasian dana yang dimiliki dengan cara yang efisien dan efektif,
khususnya dalam upaya peningkatan kesejahteraan dan pelayanan umum kepada
masyarakat.
Dengan
adanya otonomi daerah ini berarti pemerintah daerah dituntut untuk lebih
mandiri, tak terkecuali juga mandiri dalam masalah financial. Meski
begitu pemerintah pusat tetap memberi dana bantuan yang berupa Dana Transfer
dari Pemerintah Pusat. Pada praktiknya, transfer dari pempus merupakan sumber
dana utama Pemda untuk membiayai operasi utamanya sehari-hari, yang oleh Pemda
“dilaporkan” di perhitungan APBD. Tujuan dari transfer ini adalah untuk
mengurangi (kalau tidak mungkin menghilangkan) kesenjangan fiskal antar
pemerintah dan menjamin tercapainya standar pelayanan publik minimum di seluruh
negeri (Simanjuntak dalam Sidik et al, 2002, dalam maimunah, 2006).
Peneliti
sebelumnya seperti Mutiara Maemunah (2006) yang meneliti di Sumatra, Kesit
Bambang Prakosa yang meneliti di DIY dan Jawa Tengah, serta Widiyanto (2005)
yang juga meneliti di DIY dan Jawa Tengah memperoleh hasil yaitu, PAD tidak
signifikan berpengaruh terhadap Belanja Daerah. Hal tersebut berarti terjadi
flypaper effaect. Hal ini sesuai dengan hipotesisinya yang menyatakan pengaruh
DAU terhadap BD lebih besar daripada pengaruh PAD terhadap BD diterima.
II.
PENGERTIAN
Flypaper
Effect adalah suatu fenomena pada suatu kondisi ketika Pemerintah Daerah
merespon belanja daerahnya lebih banyak berasal dari transfer/grants atau
spesifiknya pada transfer tidak bersyarat atau unconditional grants daripada
pendapatan asli dari daerahnya tersebut sehingga akan mengakibatkan pemborosan
dalam Belanja Daerah.
Maimunah
(2006) menyatakan bahwa Flypaper Effect disebut sebagai suatu kondisi
yang terjadi saat pemerintah daerah merespon (belanja) lebih banyak (lebih
boros) dengan menggunakan dana transfer (grants) yang diproksikan dengan
DAU dari pada menggunakan kemampuan sendiri, diproksikan dengan PAD.
III.
BUKTI EMPIRIS
Deller
dan Maher (2005) meneliti kategori pengeluaran daerah dengan fokus pada
terjadinya flypaper effect. Mereka menemukan pengaruh unconditional grants pada
kategori pengeluaran adalah lebih kuat pada kebutuhan non esensial atau
kebutuhan luxury seperti taman dan rekreasi, kebudayaan dan pelayanan
pendidikan daripada kebutuhan esensial atau normal seperti keamanan dan
proteksi terhadap kebakaran.
Mutiara
Maemunah (2006) yang meneliti di Sumatera, Kesit Bambang Prakosa yang meneliti
di DIY dan Jawa Tengah, serta Widiyanto (2005) yang juga meneliti di DIY dan
Jawa Tengah memperoleh hasil yaitu, PAD tidak signifikan berpengaruh terhadap
Belanja Daerah. Hal tersebut berarti terjadi flypaper effaect.
Hasil temuan Haryono (2007:2)
menemukan bahwa data empiris menunjukkan proporsi Pendapatan Asli Daerah (PAD)
hanya mampu membiayai belanja Pemerintah Daerah paling tinggi sebesar 20 persen
IV.
PEMBAHASAN
Fenomena
Flypaper Effect membawa implikasi lebih luas bahwa Dana Alokasi Umum (DAU)
akan meningkatkan belanja daerah yang lebih besar dari pada penerimaan Dana
Alokasi Umum (DAU) tersebut. Fenomena Flypaper
Effect dapat terjadi dalam dua
kategiri yaitu yang pertama merujuk pada peningkatan pajak daerah dan anggaran
belanja pemerintah yang berlebihan, kedua mengarah pada pengeluaran terhadap
Dana Alokasi Umum (DAU) yang lebih tinggi dari pada pengeluaran terhadap penerimaan
pajak daerah (Gorodnichenko, 2001 dalam Maimunah 2006). Dalam pemahaman
teoritis, suatu Dana Alokasi Umum (DAU) dapat dikateogrikan sebagai sebagai
bantuan bersyarat atau Dana Alokasi Khusus (DAK) apabila alokasi penggunaannya
lebih ditentukan oleh pemerintah pusat. Dalam pemahaman teoritis, suatu Dana
Alokasi Umum (DAU) dapat di kategorikan sebagai bantuan khusus atau Dana
Alokasi Khusus (DAK) apabila alokasi penggunaanya telah ditentukan sepenuhnya
oleh pemerintah pusat. Pembedaan ini masih berada dilingkup kriteria
keleluasaan alokasi penggunaanya dan juga aspek penentuan besaran dana yang
tidak bisa dipengaruhi oleh pemerintah daerah. Penggunaan argumentasi ini
sangat penting pula nantinya berkaitan dengan pembuktian flypaper effect.
Dominannya
peran transfer relatif terhadap PAD dalam membiayai belanja pemerintah daerah
sebenarnya tidak memberikan panduan yang baik bagi governansi (governance)
terhadap aliran transfer itu sendiri. Bukti-bukti empiris secara internasional
menunjukkan bahwa tingginya ketergantungan pada transfer ternyata berhubungan
negatif dengan pemerintahannya (Mello dan Barenstrein, 2001). Hal ini berarti
pemerintah daerah akan lebih berhati-hati dalam menggunakan dana yang digali
dari masyarakat sendiri daripada uang yang diterima dari pusat. Fakta di atas
memperlihatkan bahwa perilaku fiskal pemerintah daerah dalam merespon transfer
dari pusat menjadi determinan penting dalam menunjang efektivitas kebijakan
transfer.
Beberapa
peneliti menemukan respon Pemda berbeda untuk transfer dan pendapatan sendiri
(seperti pajak). Artinya ketika penerimaan daerah berasal dari transfer, maka
stimulasi atas belanja yang ditimbulkannya berbeda dengan stimulasi yang muncul
dari pendapatan daerah (terutama pajak daerah). Ketika respon (belanja) daerah
lebih besar terhadap transfer, maka disebut flypaper effect (Oates, 1999 dalam
Halim 2003).
DATA RINGKASAN APBD
KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA
PERIODE 2007 S/D 2011
TAHUN
|
PAD
|
DAU
|
BELANJA DAERAH
|
||
JUMLAH
|
%
|
JUMLAH
|
%
|
||
2007
|
21,115,095,849.00
|
5.27%
|
218,943,000,000.00
|
54.64%
|
400,727,219,988.00
|
2008
|
15,978,379,002.00
|
3.45%
|
244,565,504,000.00
|
52.75%
|
463,619,884,436.00
|
2009
|
19,088,902,551.00
|
3.31%
|
248,190,010,000.00
|
43.03%
|
576,720,616,464.00
|
2010
|
21,358,888,090.00
|
3.42%
|
251,160,028,000.00
|
40.17%
|
625,217,786,850.00
|
2011
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Studi
tentang pengaruh pendapatan daerah (local own resources revenue)
terhadap pengeluaran daerah sudah banyak dilakukan, sebagai contoh penelitian
yang pernah dilakukan oleh Aziz et al (2000), Blackley (1986), Joulfaian
& Mokeerjee (1990), Legrensi & Milas (2001), Von Fursten berg et al (1986),
dalam Kesit Bambang Prakosa, 2004. Mereka menyatakan pendapatan (terutama
pajak) akan mempegaruhi Anggaran Belanja Pemerintah Daerah dikenal dengan nama tax
spend hyphotesis (Aziz et al, 2000; Doi (1998); Von Furstenberg et
al (1998, dalam Kesit Bambang Prakosa, 2004)). Dalam hal ini pengeluaran
Pemerintah daerah akan disesuaikan dengan perubahan dalam penerimaan pemerintah
daerah atau perubahan pendapatan terjadi sebelum perubahan pengeluaran.
Dalam
konteks internasional, beberapa penelitian yang telah dilakukan untuk melihat
pengaruh pendapatan daerah terhadap belanja (di antaranya adalah Cheng, 1999;
Friedman, 1978; Hoover & Sheffrin, 1992, dalam Bambang kesit, 2004). Cheng
(1999, dalam Kesit Bambang Prakosa, 2004) menemukan bahwa hipotesis pajak-belanja
berlaku untuk kasus pemda di beberapa negara Amerika Latin, yakni Kolombia,
Republik Dominika, Konduras, dan Paragauy. Friedmen (1978, dalam Kesit Bambang
Prakosa, 2004) menyatakan bahwa kenaikan dalam pajak akan meningkatkan belanja
daerah sehingga akhirnya akan memperbesar defisit. Hal senada dikemukakan oleh
Hoover dan Sheffrin (1992, dalam Kesit Bambang Prakosa, 2004) yakni secara
empiris menemukan akan perbedaan hubungan dalam dua rentang waktu yang berbeda.
Mereka menemukan bahwa untuk sampel data sebelum pertengahan tahun 1960-an
pajak berpengaruh terhadap belanja, sementara untuk sampel data sesudah tahun
1960-an pajak dan belanja tidak mempengaruhi (causally independent).
Melihat
beberapa hasil penelitian diatas telah menunjukan bahwa pengeluaran pemerintah
dan penerimaan pemerintPendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan sumber pendapatan
penting bagi sebuah daerah dalam memenuhi belanjanya. Dan PAD ini sekaligus
dapat menujukan tingkat kemandirian suatu daerah. Memperhatikan data APBD
Kabupaten Hulu Sungai Utah ra tersebut terlihat bahwa PAD kab HSU hanya
menyumbangkan rata-rata 3,86 % untuk membiayai belanja daerah. Merujuk pada
bukti empiris yang ada diduga pada anggaran pengeluaran pemerintah pada Kab HSU
telah terjadi flypaper effect.
V.
KESIMPULAN
Kecilnya
dukungan PAD Kab HSU terhadap belanja daerah pada tahun 2007 sampai dengan
2011, mengindikasikan bahwa tingkat ketergantungan pemerintah kab HSU terhadap
Pemerintah Pusat sangat besar. Hal ini juga memberikan gambaran bahwa tingkat
kemandirian daerah rendah dengan demikian maka flypaper effect kemungkinan
besar masih akan terjadi. Untuk itu perlu kiranya bagi Pemerintah Kab HSU untuk
menggali potensi penerimaan PAD atau penerimaan dari sisi pembiayaan seperti
menjual obligasi daerah guna mendapatkan dana segar dari masyarakat sekaligus
meningkatkan peran serta masyarakat dalam mendanai pembangunan didaerahnya.
Pada
sisi belanja, perencanaan dan
penganggaran belanja hendaknya disusun berdasarkan pendekatan prestasi kerja
yang akan dicapai atau menerapkan pilosofi Anggaran Berbasis Kinerja (ABK),
artinya setiap rupiah uang yang dibelanjakan mempunyai output dan outcome yang
jelas, sehingga pada gilirannya diharapkan anggaran belanja tersebut
benar-benar mempunyai daya dorong terhadap PDRB yang merupakan salah satu indikator
pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian kesejahteraan akan dapat dicapai.