Avatar

Sabtu, 28 April 2012


FENOMENA FLAYPAPER EFFECT
I.                    PENDAHULUAN
               Kebijakan Pemerintah Indonesia tentang Otonomi Daerah, yang mulai dilaksanakan secara efektif tanggal 1 Januari 2001, merupakan kebijakan yang dipandang sangat demokratis dan memenuhi aspek desentralisasi pemerintah yang sesungguhnya. Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah membuka peluang yang luas bagi daerah untuk mengembangkan dan membangun daerahnya sesuai dengan kebutuhan dan prioritasnya masing-masing. Dengan berlakunya
kedua undang-undang tersebut di atas membawa konsekuensi bagi daerah dalam bentuk pertanggungjawaban atas pengalokasian dana yang dimiliki dengan cara yang efisien dan efektif, khususnya dalam upaya peningkatan kesejahteraan dan pelayanan umum kepada masyarakat.
               Dengan adanya otonomi daerah ini berarti pemerintah daerah dituntut untuk lebih mandiri, tak terkecuali juga mandiri dalam masalah financial. Meski begitu pemerintah pusat tetap memberi dana bantuan yang berupa Dana Transfer dari Pemerintah Pusat. Pada praktiknya, transfer dari pempus merupakan sumber dana utama Pemda untuk membiayai operasi utamanya sehari-hari, yang oleh Pemda “dilaporkan” di perhitungan APBD. Tujuan dari transfer ini adalah untuk mengurangi (kalau tidak mungkin menghilangkan) kesenjangan fiskal antar pemerintah dan menjamin tercapainya standar pelayanan publik minimum di seluruh negeri (Simanjuntak dalam Sidik et al, 2002, dalam maimunah, 2006).
               Peneliti sebelumnya seperti Mutiara Maemunah (2006) yang meneliti di Sumatra, Kesit Bambang Prakosa yang meneliti di DIY dan Jawa Tengah, serta Widiyanto (2005) yang juga meneliti di DIY dan Jawa Tengah memperoleh hasil yaitu, PAD tidak signifikan berpengaruh terhadap Belanja Daerah. Hal tersebut berarti terjadi flypaper effaect. Hal ini sesuai dengan hipotesisinya yang menyatakan pengaruh DAU terhadap BD lebih besar daripada pengaruh PAD terhadap BD diterima.

II.                  PENGERTIAN
               Flypaper Effect adalah suatu fenomena pada suatu kondisi ketika Pemerintah Daerah merespon belanja daerahnya lebih banyak berasal dari transfer/grants atau spesifiknya pada transfer tidak bersyarat atau unconditional grants daripada pendapatan asli dari daerahnya tersebut sehingga akan mengakibatkan pemborosan dalam Belanja Daerah.
               Maimunah (2006) menyatakan bahwa Flypaper Effect disebut sebagai suatu kondisi yang terjadi saat pemerintah daerah merespon (belanja) lebih banyak (lebih boros) dengan menggunakan dana transfer (grants) yang diproksikan dengan DAU dari pada menggunakan kemampuan sendiri, diproksikan dengan PAD.

III.               BUKTI EMPIRIS
               Deller dan Maher (2005) meneliti kategori pengeluaran daerah dengan fokus pada terjadinya flypaper effect. Mereka menemukan pengaruh unconditional grants pada kategori pengeluaran adalah lebih kuat pada kebutuhan non esensial atau kebutuhan luxury seperti taman dan rekreasi, kebudayaan dan pelayanan pendidikan daripada kebutuhan esensial atau normal seperti keamanan dan proteksi terhadap kebakaran.
               Mutiara Maemunah (2006) yang meneliti di Sumatera, Kesit Bambang Prakosa yang meneliti di DIY dan Jawa Tengah, serta Widiyanto (2005) yang juga meneliti di DIY dan Jawa Tengah memperoleh hasil yaitu, PAD tidak signifikan berpengaruh terhadap Belanja Daerah. Hal tersebut berarti terjadi flypaper effaect.
               Hasil temuan Haryono (2007:2) menemukan bahwa data empiris menunjukkan proporsi Pendapatan Asli Daerah (PAD) hanya mampu membiayai belanja Pemerintah Daerah paling tinggi sebesar 20 persen

IV.               PEMBAHASAN
               Fenomena Flypaper Effect membawa implikasi lebih luas bahwa Dana Alokasi Umum (DAU) akan meningkatkan belanja daerah yang lebih besar dari pada penerimaan Dana Alokasi Umum (DAU) tersebut. Fenomena Flypaper Effect dapat terjadi dalam dua kategiri yaitu yang pertama merujuk pada peningkatan pajak daerah dan anggaran belanja pemerintah yang berlebihan, kedua mengarah pada pengeluaran terhadap Dana Alokasi Umum (DAU) yang lebih tinggi dari pada pengeluaran terhadap penerimaan pajak daerah (Gorodnichenko, 2001 dalam Maimunah 2006). Dalam pemahaman teoritis, suatu Dana Alokasi Umum (DAU) dapat dikateogrikan sebagai sebagai bantuan bersyarat atau Dana Alokasi Khusus (DAK) apabila alokasi penggunaannya lebih ditentukan oleh pemerintah pusat. Dalam pemahaman teoritis, suatu Dana Alokasi Umum (DAU) dapat di kategorikan sebagai bantuan khusus atau Dana Alokasi Khusus (DAK) apabila alokasi penggunaanya telah ditentukan sepenuhnya oleh pemerintah pusat. Pembedaan ini masih berada dilingkup kriteria keleluasaan alokasi penggunaanya dan juga aspek penentuan besaran dana yang tidak bisa dipengaruhi oleh pemerintah daerah. Penggunaan argumentasi ini sangat penting pula nantinya berkaitan dengan pembuktian flypaper effect.
               Dominannya peran transfer relatif terhadap PAD dalam membiayai belanja pemerintah daerah sebenarnya tidak memberikan panduan yang baik bagi governansi (governance) terhadap aliran transfer itu sendiri. Bukti-bukti empiris secara internasional menunjukkan bahwa tingginya ketergantungan pada transfer ternyata berhubungan negatif dengan pemerintahannya (Mello dan Barenstrein, 2001). Hal ini berarti pemerintah daerah akan lebih berhati-hati dalam menggunakan dana yang digali dari masyarakat sendiri daripada uang yang diterima dari pusat. Fakta di atas memperlihatkan bahwa perilaku fiskal pemerintah daerah dalam merespon transfer dari pusat menjadi determinan penting dalam menunjang efektivitas kebijakan transfer.
               Beberapa peneliti menemukan respon Pemda berbeda untuk transfer dan pendapatan sendiri (seperti pajak). Artinya ketika penerimaan daerah berasal dari transfer, maka stimulasi atas belanja yang ditimbulkannya berbeda dengan stimulasi yang muncul dari pendapatan daerah (terutama pajak daerah). Ketika respon (belanja) daerah lebih besar terhadap transfer, maka disebut flypaper effect (Oates, 1999 dalam Halim 2003).

DATA RINGKASAN APBD
KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA
PERIODE 2007 S/D 2011
TAHUN
 PAD
 DAU
 BELANJA DAERAH
 JUMLAH
 %
 JUMLAH
 %
2007
             21,115,095,849.00
5.27%
          218,943,000,000.00
54.64%
          400,727,219,988.00
2008
             15,978,379,002.00
3.45%
          244,565,504,000.00
52.75%
          463,619,884,436.00
2009
             19,088,902,551.00
3.31%
          248,190,010,000.00
43.03%
          576,720,616,464.00
2010
             21,358,888,090.00
3.42%
          251,160,028,000.00
40.17%
          625,217,786,850.00
2011












               Studi tentang pengaruh pendapatan daerah (local own resources revenue) terhadap pengeluaran daerah sudah banyak dilakukan, sebagai contoh penelitian yang pernah dilakukan oleh Aziz et al (2000), Blackley (1986), Joulfaian & Mokeerjee (1990), Legrensi & Milas (2001), Von Fursten berg et al (1986), dalam Kesit Bambang Prakosa, 2004. Mereka menyatakan pendapatan (terutama pajak) akan mempegaruhi Anggaran Belanja Pemerintah Daerah dikenal dengan nama tax spend hyphotesis (Aziz et al, 2000; Doi (1998); Von Furstenberg et al (1998, dalam Kesit Bambang Prakosa, 2004)). Dalam hal ini pengeluaran Pemerintah daerah akan disesuaikan dengan perubahan dalam penerimaan pemerintah daerah atau perubahan pendapatan terjadi sebelum perubahan pengeluaran.
               Dalam konteks internasional, beberapa penelitian yang telah dilakukan untuk melihat pengaruh pendapatan daerah terhadap belanja (di antaranya adalah Cheng, 1999; Friedman, 1978; Hoover & Sheffrin, 1992, dalam Bambang kesit, 2004). Cheng (1999, dalam Kesit Bambang Prakosa, 2004) menemukan bahwa hipotesis pajak-belanja berlaku untuk kasus pemda di beberapa negara Amerika Latin, yakni Kolombia, Republik Dominika, Konduras, dan Paragauy. Friedmen (1978, dalam Kesit Bambang Prakosa, 2004) menyatakan bahwa kenaikan dalam pajak akan meningkatkan belanja daerah sehingga akhirnya akan memperbesar defisit. Hal senada dikemukakan oleh Hoover dan Sheffrin (1992, dalam Kesit Bambang Prakosa, 2004) yakni secara empiris menemukan akan perbedaan hubungan dalam dua rentang waktu yang berbeda. Mereka menemukan bahwa untuk sampel data sebelum pertengahan tahun 1960-an pajak berpengaruh terhadap belanja, sementara untuk sampel data sesudah tahun 1960-an pajak dan belanja tidak mempengaruhi (causally independent).
               Melihat beberapa hasil penelitian diatas telah menunjukan bahwa pengeluaran pemerintah dan penerimaan pemerintPendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan sumber pendapatan penting bagi sebuah daerah dalam memenuhi belanjanya. Dan PAD ini sekaligus dapat menujukan tingkat kemandirian suatu daerah. Memperhatikan data APBD Kabupaten Hulu Sungai Utah ra tersebut terlihat bahwa PAD kab HSU hanya menyumbangkan rata-rata 3,86 % untuk membiayai belanja daerah. Merujuk pada bukti empiris yang ada diduga pada anggaran pengeluaran pemerintah pada Kab HSU telah terjadi flypaper effect.
V.                  KESIMPULAN
               Kecilnya dukungan PAD Kab HSU terhadap belanja daerah pada tahun 2007 sampai dengan 2011, mengindikasikan bahwa tingkat ketergantungan pemerintah kab HSU terhadap Pemerintah Pusat sangat besar. Hal ini juga memberikan gambaran bahwa tingkat kemandirian daerah rendah dengan demikian maka flypaper effect kemungkinan besar masih akan terjadi. Untuk itu perlu kiranya bagi Pemerintah Kab HSU untuk menggali potensi penerimaan PAD atau penerimaan dari sisi pembiayaan seperti menjual obligasi daerah guna mendapatkan dana segar dari masyarakat sekaligus meningkatkan peran serta masyarakat dalam mendanai pembangunan didaerahnya.
               Pada sisi belanja,  perencanaan dan penganggaran belanja hendaknya disusun berdasarkan pendekatan prestasi kerja yang akan dicapai atau menerapkan pilosofi Anggaran Berbasis Kinerja (ABK), artinya setiap rupiah uang yang dibelanjakan mempunyai output dan outcome yang jelas, sehingga pada gilirannya diharapkan anggaran belanja tersebut benar-benar mempunyai daya dorong terhadap PDRB yang merupakan salah satu indikator pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian kesejahteraan akan dapat dicapai.